Friday, January 24, 2014

rela demi makan



Kepada siapa lagi kita akan bertanya, ketika tak seorangpun lagi ada dihadapan kita? Kepada diri sendiri? Bukankah kita pun tak bisa menjawabnya? Begitu banyak misteri dalam hidup ini, dan setiap manusia selalu berusaha mengambil hikmah dan hal baik dari setiap cerita hidup yang kurang diingini. Selalu ada kata terimakasih, kadang juga ada kata terlambat, namun terlalu sering telinga mendengar kata maaf.

Terlalu lama saya berharap pada sebuah “kesetiaan” namun, seperti tidak ada yang diberikannya pada saya. Jangankan sebuah ucapan terimakasih, senyuman pun seperti hambar untuknya.

Benarkah cukup sebuah “waktu” yang menguji sebuah “kesetiaan”?

Mungkin tidak, tapi apa lagi? Entahlah..

Sore itu saya berangkat menuju tempat yang sunyi, dan terlalu sulit dijangkau bagi saya. Apa yang menjadi alasan saya menempuh jarak dan menahan letihnya melangkah? Kelak saya dan kamu akan mengerti. Ketika sampai pada tempat yang tidak pernah saya bayangkan, gelap dan sunyi, dimanakah ini? dengan rasa sedih, penuh tanya dalam batin saya. Tapi memang saya yang menginginkannya dari semula, dan saya siap dengan setiap resiko dan tantangan.  Ya, disebuah desa saya menetapkan diri untuk beberapa waktu, tidak tahu sampai kapan. Untuk apa? Banyak hal yang saya ingin pelajari tentang hidup, lebih lagi saya ingin menguji diri saya, saya memang mengenali diri saya, tapi kadang kita berlari dari diri kita sendiri dengan begitu banyak alasan. Untuk itulah saya berkomitmen untuk diam ditempat terpencil ini.

Ya mungkin itu alasan utama saya, dan percaya atau tidak..saya cukup bosan dengan kehidupan dikota, dengan orang-orang yang senang bersandiwara entah dengan alasan apa, terlalu banyak yang mengaku dirinya “setia” tapi…

Mungkin kamu berpikir, apakah saya tidak punya teman? Saya punya, bahkan dua orang sahabat yang selalu membuat saya kuat. Mungkin kamu berpikir, apakah saya tidak punya keluarga? Saya punya, meski keluarga saya cukup diam, tapi saya merasakan cinta yang tulus didalamnya. Mungkin kamu berpikir,apakah saya tidak punya tujuan hidup? Stop untuk memikirkan hal-hal yang buruk dalam diri saya, saya tahu ada banyak kelemahan dalam diri saya, tapi bukankah kita punya kesempatan untuk berubah? Dan saya telah berusah melalui proses dalam perjalanan hidup ini, itulah yang membuat saya sampai saat ini memilki tujuan hidup. Kalau saya tidak punya tujuan hidup, ya untuk apa saya hidup?

Lanjut, sudah cukup lama saya berada didesa ini, dengan indahnya alam yang sangat nyata, dengan sejuknya udara yang setiap hari menghampiri nafas ini, dengan ramah dan tulusnya mereka yang disekeliling saya, menyapa tanpa sandiwara, meminta tanpa basa basi, menolong tanpa berharap balasan, dan berbicara tanpa kemunafikan, ya..merekalah orang pedalaman.

Begitu sulit hidup bagi mereka, ini fakta. Mereka menempuh jarak yang cukup jauh dengan melangkah penuh keringat yang tak pernah berhenti menetes, tapi mengapa seolah-olah mereka menikmati semua keletihan ini? semua demi makan.

“Hidup ini keras!” memang! 

Sangat benar, bagi mereka orang-orang pedalaman dan mata saya melihatnya. Banyak pandangan saya berubah tentang hidup ini setelah sekian banyak waktu saya lalui ditempat ini. Sempat saya berimajinasi, bagaimana kalau saya jadi mereka? Mungkin saya akan menangis setiap hari, dari waktu ke waktu hidup saya mungkin akan hanya berurai air mata, dan sangat memuakkan bagi mereka yang menonton saya.

Ya benar, Tuhan memang adil.

Ada banyak orang kaya dengan harta, tapi miskin dengan kerelaan.

Mengapa harta begitu memikat hati manusia..lagi-lagi entahlah.

Di suatu siang pun saya menemui matahari yang begitu tulusnya menyinari bumi dengan sangat terik, ia tak bermaksud membuat kita menderita dengan panasnya, tapi ia tulus menyinari. Mengapa manusia sering menilai matahari begitu jahat dengan teriknya. Dan ketika siang terik itu juga, seorang pria dengan keletihanya menghapus keringat diseluruh tubuhnya , ia mengambil air alam, meneguknya, selepas itu ia melanjutkan pekerjaanya sambil berbincang dengan saya, namun dalam perbincangannya tidak saya temui kata “lelah”. Lagi-lagi demi makan.

Hey, pernahkah kita merasa begitu kecewa dengan orang disekitar kita? Dan menyimpannya begitu lama, mungkin hampir saja kita bangga dengan kepahitan itu. Tapi lihat mereka, yang tidak pernah memusingkan orang disekitar mereka, yang mereka tahu hanyalah berusaha, kalau bisa makan.. syukur, kalau tidak, ya berusaha lagi. Tidak ada waktu bagi mereka menelan rasa kecewa pada manusia, mereka hanya berharap pada sang Pencipta supaya ada berkah dihari ini dan esok, cukup itu saja.

Kawan, berapa lama lagi kita seperti ini, selalu berharap angin berhembus dengan setia, berharap ada harta dihari ini, berharap dia mencintai kita, berharap semua terealisasi dengan baik, bahkan sangat baik.

Cukup!

Kita akan semakin kecewa dengan harapan yang hanya mementingkan diri sendiri. Tidak bosankah kita menjadi orang yang egois. Jika kita berharap angin berhembus dengan setia, setialah lebih dulu untuk bersyukur kepada sang Pencipta, jika kita berharap ada harta dihari ini, berusahalah membagikan apa yang kita miliki kepada mereka yang lebih membuthkan, jika kita berharap dia mencintai kita, lebih dululah kita mencintai dengan tulus tanpa memaksakan kehendak padanya, jika kita berharap semua terealisasi dengan sangat baik, aturlah hidup kita dengan sedemikian baik, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi bagi mereka juga. Ingat kita juga membutuhkan mereka, kita tidak bisa sendiri, karena sangat tidak baik jika manusia seorang diri saja.