Kepada siapa lagi kita akan
bertanya, ketika tak seorangpun lagi ada dihadapan kita? Kepada diri sendiri?
Bukankah kita pun tak bisa menjawabnya? Begitu banyak misteri dalam hidup ini,
dan setiap manusia selalu berusaha mengambil hikmah dan hal baik dari setiap
cerita hidup yang kurang diingini. Selalu ada kata terimakasih, kadang juga ada
kata terlambat, namun terlalu sering telinga mendengar kata maaf.
Terlalu lama saya berharap pada
sebuah “kesetiaan” namun, seperti tidak ada yang diberikannya pada saya. Jangankan
sebuah ucapan terimakasih, senyuman pun seperti hambar untuknya.
Benarkah cukup sebuah “waktu” yang menguji
sebuah “kesetiaan”?
Mungkin tidak, tapi apa lagi?
Entahlah..
Sore itu saya berangkat menuju
tempat yang sunyi, dan terlalu sulit dijangkau bagi saya. Apa yang menjadi
alasan saya menempuh jarak dan menahan letihnya melangkah? Kelak saya dan kamu
akan mengerti. Ketika sampai pada tempat yang tidak pernah saya bayangkan,
gelap dan sunyi, dimanakah ini? dengan rasa sedih, penuh tanya dalam batin
saya. Tapi memang saya yang menginginkannya dari semula, dan saya siap dengan
setiap resiko dan tantangan. Ya,
disebuah desa saya menetapkan diri untuk beberapa waktu, tidak tahu sampai
kapan. Untuk apa? Banyak hal yang saya ingin pelajari tentang hidup, lebih lagi
saya ingin menguji diri saya, saya memang mengenali diri saya, tapi kadang kita
berlari dari diri kita sendiri dengan begitu banyak alasan. Untuk itulah saya
berkomitmen untuk diam ditempat terpencil ini.
Ya mungkin itu alasan utama saya,
dan percaya atau tidak..saya cukup bosan dengan kehidupan dikota, dengan
orang-orang yang senang bersandiwara entah dengan alasan apa, terlalu banyak
yang mengaku dirinya “setia” tapi…
Mungkin kamu berpikir, apakah
saya tidak punya teman? Saya punya, bahkan dua orang sahabat yang selalu
membuat saya kuat. Mungkin kamu berpikir, apakah saya tidak punya keluarga?
Saya punya, meski keluarga saya cukup diam, tapi saya merasakan cinta yang
tulus didalamnya. Mungkin kamu berpikir,apakah saya tidak punya tujuan hidup?
Stop untuk memikirkan hal-hal yang buruk dalam diri saya, saya tahu ada banyak
kelemahan dalam diri saya, tapi bukankah kita punya kesempatan untuk berubah?
Dan saya telah berusah melalui proses dalam perjalanan hidup ini, itulah yang
membuat saya sampai saat ini memilki tujuan hidup. Kalau saya tidak punya
tujuan hidup, ya untuk apa saya hidup?
Lanjut, sudah cukup lama saya
berada didesa ini, dengan indahnya alam yang sangat nyata, dengan sejuknya
udara yang setiap hari menghampiri nafas ini, dengan ramah dan tulusnya mereka
yang disekeliling saya, menyapa tanpa sandiwara, meminta tanpa basa basi,
menolong tanpa berharap balasan, dan berbicara tanpa kemunafikan, ya..merekalah
orang pedalaman.
Begitu sulit hidup bagi mereka,
ini fakta. Mereka menempuh jarak yang cukup jauh dengan melangkah penuh
keringat yang tak pernah berhenti menetes, tapi mengapa seolah-olah mereka
menikmati semua keletihan ini? semua demi makan.
“Hidup ini keras!” memang!
Sangat benar, bagi mereka
orang-orang pedalaman dan mata saya melihatnya. Banyak pandangan saya berubah
tentang hidup ini setelah sekian banyak waktu saya lalui ditempat ini. Sempat
saya berimajinasi, bagaimana kalau saya jadi mereka? Mungkin saya akan menangis
setiap hari, dari waktu ke waktu hidup saya mungkin akan hanya berurai air
mata, dan sangat memuakkan bagi mereka yang menonton saya.
Ya benar, Tuhan memang adil.
Ada banyak orang kaya dengan harta,
tapi miskin dengan kerelaan.
Mengapa harta begitu memikat hati
manusia..lagi-lagi entahlah.
Di suatu siang pun saya menemui
matahari yang begitu tulusnya menyinari bumi dengan sangat terik, ia tak
bermaksud membuat kita menderita dengan panasnya, tapi ia tulus menyinari.
Mengapa manusia sering menilai matahari begitu jahat dengan teriknya. Dan
ketika siang terik itu juga, seorang pria dengan keletihanya menghapus keringat
diseluruh tubuhnya , ia mengambil air alam, meneguknya, selepas itu ia
melanjutkan pekerjaanya sambil berbincang dengan saya, namun dalam
perbincangannya tidak saya temui kata “lelah”. Lagi-lagi demi makan.
Hey, pernahkah kita merasa begitu
kecewa dengan orang disekitar kita? Dan menyimpannya begitu lama, mungkin
hampir saja kita bangga dengan kepahitan itu. Tapi lihat mereka, yang tidak
pernah memusingkan orang disekitar mereka, yang mereka tahu hanyalah berusaha,
kalau bisa makan.. syukur, kalau tidak, ya berusaha lagi. Tidak ada waktu bagi
mereka menelan rasa kecewa pada manusia, mereka hanya berharap pada sang
Pencipta supaya ada berkah dihari ini dan esok, cukup itu saja.
Kawan, berapa lama lagi kita
seperti ini, selalu berharap angin berhembus dengan setia, berharap ada harta
dihari ini, berharap dia mencintai kita, berharap semua terealisasi dengan
baik, bahkan sangat baik.
Cukup!
Kita akan semakin kecewa dengan harapan
yang hanya mementingkan diri sendiri. Tidak bosankah kita menjadi orang yang
egois. Jika kita berharap angin berhembus dengan setia, setialah lebih dulu
untuk bersyukur kepada sang Pencipta, jika kita berharap ada harta dihari ini,
berusahalah membagikan apa yang kita miliki kepada mereka yang lebih
membuthkan, jika kita berharap dia mencintai kita, lebih dululah kita mencintai
dengan tulus tanpa memaksakan kehendak padanya, jika kita berharap semua
terealisasi dengan sangat baik, aturlah hidup kita dengan sedemikian baik, bukan
hanya untuk diri sendiri, tapi bagi mereka juga. Ingat kita juga membutuhkan
mereka, kita tidak bisa sendiri, karena sangat tidak baik jika manusia seorang
diri saja.